Seorang anak jika kepadanya ditanyakan siapakah yang pertama kali dikenal dalam hidupnya,
pertama kali ia akan menjawab ibu, lalu ibu, kemudian ibu selanjutnya bapak. Ibu adalah yang pertama, ibu juga yang kedua, dan ibu juga ketiga untuk selanjutnya bapak pada urutan ke empat. Tiga kesempatan pertama menyebut ibu,
tentu bukan tanpa alasan. Sembilan bulan sepuluh hari, ketika belom ada operasi caesar, dilanjutkan menyusui sampai
umumnya dua tahun, dan merawatnya sampai minimal bisa membaca alif. Kemudian bapak pada urutan selanjutnya, karena biasanya ia tau, bahwa yang menyebabkan air susunya berbau tembakau dan asap rokok adalah bapak, yang pertama memelototinya juga bapak. Terkenanglah ia pada urutan ke empat. Nyaris semua begitu urutannya. Nyaris? Ya, nyaris semua begitu, yang berarti
tak sedikit pula yang tidak begitu.
Mereka yang tidak begitu tentu punya berbagai urutan tersendiri. Bisa jadi yang menjadi urutan pertama adalah Bapak, nenek, kakek, bidan atau
pemulung yang menemukannya tergeletak dipinggir selokan. Banyak kemungkinannya. Jika yang pertama dikenalnya adalah bapak, bisa jadi semenjak lahir,
sang ibu dipanggil kehadapan-NYA, atau melarikan diri bersama calon bapak lain untuk anak yang lain. Dan jika nenek atau kakek yang pertama dikenalnya, bisa jadi ia anak yang tidak diinginkan, yang mungkin saja terlahir karena aib, karena buah hubungan terlarang atau kedua orang tuanya belom siap. Orang tua yang biasanya masih menempuh satu jenjang studi,
tentu tak ingin kehadirannya menjadi beban dan merepotkan, maka dititipkan kepada orang tua adalah pilihan logis. Dari sana lah, kakek dan nenek menjadi orang yang pertama dikenalnya. Kondisi ini juga memungkinkan seorang anak mengenal pemulung sampah menjadi orang pertama yang dikenalnya. Bukan cerita satu dua tentang ini. Seorang bayi merah tergeletak di bak sampah, dikolong jembatan atau di sudut selokan. Mengenaskan.
Menjadi bagian mereka yang perkecualian itu, adalah lelaki muda di depanku ini. Maaf ya, beberapa tulisanku terakhir lebih suka menggunakan penokohan berdasarkan sosoknya, bukan nama atau panggilannya. Lelaki muda, perempuan remaja, kurasa sah untuk sebuah tulisan. Baiklah cerita dilanjut.
Sehari-hari aku bersamanya, menjalani kesunyian bersama. Namun jarang ia bertutur, jarang ia bercerita tentang dia dan dirinya. Sesekali, namun pagi ini, ia bertutur panjang. Tentang ia, dan hidupnya. Aku mendengarnya, hanya bisa mendengarnya. Sesekali menimpalinya dengan kalimat-kalimat yang kuanggap perlu untuk menimpalinya.
"Kenapa lu mau cerita? Tumben,"tanyaku memotong ceritanya ketika ia baru akan memulai.
"ga tau ya le, pengen aja. dari semalam, aku inget sebuah pertemuan. Pertemuan yang aku takutkan ia adalah pertemuan terakhir kami".
"kami? elo ma siapa?"
"Aku dan Bapakku".
"Oh..ok. Go on, cerita".
"Pertemuan terakhir itu di sebuah kantor post di kota semarang, jawa tengah empat tahun yang lalu. Sosoknya sudah tua, dengan tinggi badan yang tak lebih tinggi dari aku.
Rambutnya banyak yang memutih, tipis-tipis. Gurat-gurat kelelahan tampak dimatanya, entah mengerjakan apa aku tak tau. Entah berapa pula umurnya, aku tak pernah tahu, haruskah aku bertanya? kurasa tidak perlu. Yang jelas, ia tua, seperti bapak-bapak yang lain".
Ia berhenti sebentar, untuk selanjutnya,
"le, elo tau? karena lelaki tua itu aku ada di bumi ini.
Lelaki yang menggagahi ibuku, menghidupinya sebentar, lalu meninggalkannya.
Bukankan ia seorang bangsat? Sekali lagi karena ia aku ada disini,
ada di bumi penuh maksiat ini. Coba, pikirkan, seandainya aku ga terlahir,
aku mungkin adalah malaikat, yang bisa jadi hari ini mencabut nyawamu.
"Tak baik menyesali takdir,"timpalku. "itu aja?"
"Ga. Ga hanya itu. Hari ini aku pengen marah. Aku pengen nangis, aku pengen smuanya. Aku ingin..ah..aku tak mampu. Bahkan untuk mengingat masa laluku, elo sabar ya. Gue butuh elo, btw ambilin dulu gudang garamku itu."
Gembel!! Masih aja mikir rokok.
Yeap. Hari ini ia marah. Perlahan ia bercerita hal-hal yang luar biasa menurutnya dalam hidupnya. Beberapa kali terhenti, mengingat ingat, beberapa kali ia menangis. Ku biarkan saja ia begitu.
Setiap orang berhak menumpahkan airmatanya kan? karena itu bentuk emosi yang setiap orang miliki sejak lahir. Sejak ia kelilipan pertama kali saat terlepas dari rahim ibunya. Ia melanjutkan ceritanya, dan tak kan kupenggal lagi.
**
"Le,"ia mulai bercerita.
"ya?"
"gue cerita lagi yah.."
"cerita ajah..."
"Nah, gitu deh le, aku benci bapakku. Tau, apa yang membuatku membencinya? Karena ia menelantarkan ibuku! Sungguh aku ga habis pikir.."
"elo dah cerita tadi.."
"Jangan nyela, aku juga tau..lo denger aja napa.."
"hhhhhhhhh......"
"Tau apa yang terjadi pada ibuku? Penderitaan seumur hidup. Ibu yang menanggung berjuta nestapa dalam hidupnya. Dipandang sinis dan remeh sama tetanga. Pernah elo pikir, seandainya elo sendiri ngalami, seorang yang elo temui berkomentar, o ini tho anaknya si janda yang ditinggal kabur bojone(1) itu? Gimana perasaan elo le? Perih banget asal elo tau. Sering juga aku dengar bisik-bisik di warung tentang ibuku. Banyak ibu-ibu lain berbisik agar hati hati menjaga suami-suami mereka karena ada janda di kampung kami.
Itulah kenapa aku benci banget sama orang yang seharusnya kupanggil bapak itu. dan hari ini aku pengen marah. marah marah marah! cuman ga tau nmusti gimana marahnya. Mo marah ke sapa? Mo caci maki ke sapa? mo nendang sapa?"
"elo marah aja ke gue..tapi jangan pake nendang"
"Ini udah tauuuuuuuuuuk aku lagi marah!!!!! ga liat apa mukaku kayak gini"
Ya ampun ini orang, curhat, ngelawak atau emang lagi marah? Mukanya yang bulat dengan postur tubuh agak bengkak membuat sobat satu ini terlihat lucu walau sedang marah marah. Dia pun menyadari mukanya begitu sehingga kadang sewot sendiri kalo orang yang dimarahinya justru tertawa.
Hening sejenak, ia menyalakan rokok keduanya dan menyeruput kopi yang tinggal ampasnya. Tidak seperti kopiku, kopi yang dia minum berisi banyak gula dan mungkin aku akan muntah jika meminumnya.
"Terus yang elo mau gimana?"Aku berusaha memecah keheningan itu.
"Ga tau deh..sejujurnya, ada dari jiwaku yang bergeliat,..merintih dan entahlah apa istilahnya...ga lengkap kali. yah..jiwaku ga lengkap. Aku pengen punya bapak juga kadang kadang, tapi aku hanya punya ibu. Dan aku ga ngijinin ibuku nikah lagi. Aku ga mau."
"kok gitu?"
"entahlah..yang jelas ibuku juga mau kok..dan aku rasa ibu juga gitu...ga ingin disakiti lagi"
"masa?"
"eloo lagiiiii nanya mulu...beeeeeeeeeeeete deh"
"trus kenapa baru semalam elo inget lagi pertemuan dengan bapakmu itu?"
"Semalam aku tertidur...trus ngimpi....gigiku tanggal, kata orang itu tandanya ada orang terdekat kita yang meninggal....dan ibu? tadi aku udah telpon sehat sehat aja..nah sapa lagi coba.....klo bukan si tua itu..."
"kan cuma mimpi...."
"tapi kepikiran le...."
"elo kangen bapakmu kali...."
"iya kali ya le...trus...kalo nurut elo...gue musti gimana...?"
"elo cari lahhhh..temuin lagi kali aja ada sesuatu yang bisa elo atasi..atau kali aja ada apa gitu kalo elo ketemu dia...."
"kok gue jadi melankolis gini..."
"dari doloooooo kaleeeeeeee..."
***
tittittttttttttttt t*t*tttttttttt
ponselku berbunyi, dari sobat bengkakku.
"Le...gue lagi di semarang, didepan nisan bapak gue...dia mati pas kita ngobrol dulu...gue musti sedih ga se? gue dapet warisan...."
pertama kali ia akan menjawab ibu, lalu ibu, kemudian ibu selanjutnya bapak. Ibu adalah yang pertama, ibu juga yang kedua, dan ibu juga ketiga untuk selanjutnya bapak pada urutan ke empat. Tiga kesempatan pertama menyebut ibu,
tentu bukan tanpa alasan. Sembilan bulan sepuluh hari, ketika belom ada operasi caesar, dilanjutkan menyusui sampai
umumnya dua tahun, dan merawatnya sampai minimal bisa membaca alif. Kemudian bapak pada urutan selanjutnya, karena biasanya ia tau, bahwa yang menyebabkan air susunya berbau tembakau dan asap rokok adalah bapak, yang pertama memelototinya juga bapak. Terkenanglah ia pada urutan ke empat. Nyaris semua begitu urutannya. Nyaris? Ya, nyaris semua begitu, yang berarti
tak sedikit pula yang tidak begitu.
Mereka yang tidak begitu tentu punya berbagai urutan tersendiri. Bisa jadi yang menjadi urutan pertama adalah Bapak, nenek, kakek, bidan atau
pemulung yang menemukannya tergeletak dipinggir selokan. Banyak kemungkinannya. Jika yang pertama dikenalnya adalah bapak, bisa jadi semenjak lahir,
sang ibu dipanggil kehadapan-NYA, atau melarikan diri bersama calon bapak lain untuk anak yang lain. Dan jika nenek atau kakek yang pertama dikenalnya, bisa jadi ia anak yang tidak diinginkan, yang mungkin saja terlahir karena aib, karena buah hubungan terlarang atau kedua orang tuanya belom siap. Orang tua yang biasanya masih menempuh satu jenjang studi,
tentu tak ingin kehadirannya menjadi beban dan merepotkan, maka dititipkan kepada orang tua adalah pilihan logis. Dari sana lah, kakek dan nenek menjadi orang yang pertama dikenalnya. Kondisi ini juga memungkinkan seorang anak mengenal pemulung sampah menjadi orang pertama yang dikenalnya. Bukan cerita satu dua tentang ini. Seorang bayi merah tergeletak di bak sampah, dikolong jembatan atau di sudut selokan. Mengenaskan.
Menjadi bagian mereka yang perkecualian itu, adalah lelaki muda di depanku ini. Maaf ya, beberapa tulisanku terakhir lebih suka menggunakan penokohan berdasarkan sosoknya, bukan nama atau panggilannya. Lelaki muda, perempuan remaja, kurasa sah untuk sebuah tulisan. Baiklah cerita dilanjut.
Sehari-hari aku bersamanya, menjalani kesunyian bersama. Namun jarang ia bertutur, jarang ia bercerita tentang dia dan dirinya. Sesekali, namun pagi ini, ia bertutur panjang. Tentang ia, dan hidupnya. Aku mendengarnya, hanya bisa mendengarnya. Sesekali menimpalinya dengan kalimat-kalimat yang kuanggap perlu untuk menimpalinya.
"Kenapa lu mau cerita? Tumben,"tanyaku memotong ceritanya ketika ia baru akan memulai.
"ga tau ya le, pengen aja. dari semalam, aku inget sebuah pertemuan. Pertemuan yang aku takutkan ia adalah pertemuan terakhir kami".
"kami? elo ma siapa?"
"Aku dan Bapakku".
"Oh..ok. Go on, cerita".
"Pertemuan terakhir itu di sebuah kantor post di kota semarang, jawa tengah empat tahun yang lalu. Sosoknya sudah tua, dengan tinggi badan yang tak lebih tinggi dari aku.
Rambutnya banyak yang memutih, tipis-tipis. Gurat-gurat kelelahan tampak dimatanya, entah mengerjakan apa aku tak tau. Entah berapa pula umurnya, aku tak pernah tahu, haruskah aku bertanya? kurasa tidak perlu. Yang jelas, ia tua, seperti bapak-bapak yang lain".
Ia berhenti sebentar, untuk selanjutnya,
"le, elo tau? karena lelaki tua itu aku ada di bumi ini.
Lelaki yang menggagahi ibuku, menghidupinya sebentar, lalu meninggalkannya.
Bukankan ia seorang bangsat? Sekali lagi karena ia aku ada disini,
ada di bumi penuh maksiat ini. Coba, pikirkan, seandainya aku ga terlahir,
aku mungkin adalah malaikat, yang bisa jadi hari ini mencabut nyawamu.
"Tak baik menyesali takdir,"timpalku. "itu aja?"
"Ga. Ga hanya itu. Hari ini aku pengen marah. Aku pengen nangis, aku pengen smuanya. Aku ingin..ah..aku tak mampu. Bahkan untuk mengingat masa laluku, elo sabar ya. Gue butuh elo, btw ambilin dulu gudang garamku itu."
Gembel!! Masih aja mikir rokok.
Yeap. Hari ini ia marah. Perlahan ia bercerita hal-hal yang luar biasa menurutnya dalam hidupnya. Beberapa kali terhenti, mengingat ingat, beberapa kali ia menangis. Ku biarkan saja ia begitu.
Setiap orang berhak menumpahkan airmatanya kan? karena itu bentuk emosi yang setiap orang miliki sejak lahir. Sejak ia kelilipan pertama kali saat terlepas dari rahim ibunya. Ia melanjutkan ceritanya, dan tak kan kupenggal lagi.
**
"Le,"ia mulai bercerita.
"ya?"
"gue cerita lagi yah.."
"cerita ajah..."
"Nah, gitu deh le, aku benci bapakku. Tau, apa yang membuatku membencinya? Karena ia menelantarkan ibuku! Sungguh aku ga habis pikir.."
"elo dah cerita tadi.."
"Jangan nyela, aku juga tau..lo denger aja napa.."
"hhhhhhhhh......"
"Tau apa yang terjadi pada ibuku? Penderitaan seumur hidup. Ibu yang menanggung berjuta nestapa dalam hidupnya. Dipandang sinis dan remeh sama tetanga. Pernah elo pikir, seandainya elo sendiri ngalami, seorang yang elo temui berkomentar, o ini tho anaknya si janda yang ditinggal kabur bojone(1) itu? Gimana perasaan elo le? Perih banget asal elo tau. Sering juga aku dengar bisik-bisik di warung tentang ibuku. Banyak ibu-ibu lain berbisik agar hati hati menjaga suami-suami mereka karena ada janda di kampung kami.
Itulah kenapa aku benci banget sama orang yang seharusnya kupanggil bapak itu. dan hari ini aku pengen marah. marah marah marah! cuman ga tau nmusti gimana marahnya. Mo marah ke sapa? Mo caci maki ke sapa? mo nendang sapa?"
"elo marah aja ke gue..tapi jangan pake nendang"
"Ini udah tauuuuuuuuuuk aku lagi marah!!!!! ga liat apa mukaku kayak gini"
Ya ampun ini orang, curhat, ngelawak atau emang lagi marah? Mukanya yang bulat dengan postur tubuh agak bengkak membuat sobat satu ini terlihat lucu walau sedang marah marah. Dia pun menyadari mukanya begitu sehingga kadang sewot sendiri kalo orang yang dimarahinya justru tertawa.
Hening sejenak, ia menyalakan rokok keduanya dan menyeruput kopi yang tinggal ampasnya. Tidak seperti kopiku, kopi yang dia minum berisi banyak gula dan mungkin aku akan muntah jika meminumnya.
"Terus yang elo mau gimana?"Aku berusaha memecah keheningan itu.
"Ga tau deh..sejujurnya, ada dari jiwaku yang bergeliat,..merintih dan entahlah apa istilahnya...ga lengkap kali. yah..jiwaku ga lengkap. Aku pengen punya bapak juga kadang kadang, tapi aku hanya punya ibu. Dan aku ga ngijinin ibuku nikah lagi. Aku ga mau."
"kok gitu?"
"entahlah..yang jelas ibuku juga mau kok..dan aku rasa ibu juga gitu...ga ingin disakiti lagi"
"masa?"
"eloo lagiiiii nanya mulu...beeeeeeeeeeeete deh"
"trus kenapa baru semalam elo inget lagi pertemuan dengan bapakmu itu?"
"Semalam aku tertidur...trus ngimpi....gigiku tanggal, kata orang itu tandanya ada orang terdekat kita yang meninggal....dan ibu? tadi aku udah telpon sehat sehat aja..nah sapa lagi coba.....klo bukan si tua itu..."
"kan cuma mimpi...."
"tapi kepikiran le...."
"elo kangen bapakmu kali...."
"iya kali ya le...trus...kalo nurut elo...gue musti gimana...?"
"elo cari lahhhh..temuin lagi kali aja ada sesuatu yang bisa elo atasi..atau kali aja ada apa gitu kalo elo ketemu dia...."
"kok gue jadi melankolis gini..."
"dari doloooooo kaleeeeeeee..."
***
tittittttttttttttt t*t*tttttttttt
ponselku berbunyi, dari sobat bengkakku.
"Le...gue lagi di semarang, didepan nisan bapak gue...dia mati pas kita ngobrol dulu...gue musti sedih ga se? gue dapet warisan...."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam...!!!