+ -

Pages

Senin, 11 April 2011

Pelangi Untuk Ayah



Anak-anak itu kembali menjahiliku. Ini semua gara-gara namaku. Pelangi. Nama pemberian ayahku, orang yang satu-satunya kucintai. Ibuku sudah lama meninggal karena kecelakaan. Cowok-cowok itu bilang bahwa aku seharusnya tak bernamakan Pelangi melainkan Hujan. Kata mereka, aku selalu membawa kesialan, bukan kebahagiaan. Sifatku yang pemurung di sekolah membuatku dianggap menjadi anak aneh. Untunglah aku bisa bernafas lega. Hari ini hari Jum’at. Hari terakhir penderitaanku selama di sekolah. Dan esok, aku akan menemukan kebahagiaan bersama ayahku.

Kami berdua berjalan menyusuri padang ilalang dan berhenti di ujung bukit. Setiap Sabtu, ayahku selalu mengajakku ke bukit di belakang perkebunan kami. Inilah hal yang paling membahagiakan dalam hidupku. Ayahku bilang, kalau aku naik ke bukit, aku akan merasa sangat dekat dengan pelangi itu, bahkan aku bisa menambahkan beberapa warna yang kusuka. Di salah satu sisi bukit, tertancap bendera Indonesia yang berukuran tidak terlalu besar. Ayahku yang menancapkannya. Rasa nasionalismenya memang tinggi sekali.
“Pelangi, ada masalah ya di sekolah?” Tanya ayahku lembut.
“Biasa, Yah,” jawabku.
“Gara-gara nama Pelangi?”
Aku tidak menjawab. Aku tidak mungkin mengecewakan ayahku hanya karena anak-anak itu.
“Kamu mau tahu kenapa ayah kasih kamu nama Pelangi?” Tanya ayahku kembali. Tatapan hangatnya lurus ke depan menyusuri bukit. Sebelumnya, ayahku tidak pernah memberitahuku rahasia apa-apa.

“Kedengarannya memang lucu, tapi dari kecil, ayah memang suka sekali sama pelangi,”
“Dulu, ayah sering sedih karena diejek teman-teman. Ayah sering merenung sendiri di kamar. Sampai suatu waktu, ayah kehujanan waktu habis dikerjain teman-teman. Ayah berteduh di halte. Terus, ayah lihat pelangi. Tiba-tiba suasana hati ayah jadi gembira. Warna yang paling ayah suka, merah. Karena ayah tahu bahwa ayah harus tegar setiap menghadapi suatu masalah. Jadi, kalau kamu punya masalah apa saja, kamu bisa ingat cerita ayah ini, ya,”
Akupun memeluk ayahku erat-erat. Aku sayang sekali pada beliau. Aku janji pada diriku, lain kali, aku tidak akan pernah mengeluh dengan keadaanku.
“Oh ya. sebentar lagi kamu kan ulang tahun. Kamu mau kado apa, Sayang?” Tanya ayahku.
“Apa aja, Yah. Lagipula, itu kan ulangtahun ke tujuhbelas, masa masih pake kado-kadoan, Yah,”
“Justru karena ulangtahun ke tujuhbelas, Sayang,”
Aku hanya tersenyum. Aku benar-benar tak mengharap apa-apa dari ayahku di usiaku yang ke tujuhbelas nanti. Untukku, dengan kehadirannya di setiap ualngtahunku saja sudah lebih dari cukup. Karena, pekerjaannya sebagai masinis kereta api membuatnya jarang berada di rumah. Padahal kami hanya tinggal berdua. Lagipula, kami hanya keluarga sederhana. Jadi, aku tidak pernah mengharapkan hadiah apa-apa.

Ulangtahunku tinggal 3 hari lagi. Aku sangat menantinantikannya karena ayahku berkata bahwa aku akan diberi kejutan. Tapi, tiba-tiba ayahku menelepon dari tempat kerjanya.
“Pelangi, hari ini ayah tidak bisa pulang ke rumah. Ayah baru bisa pulang kira-kira lusa. Tapi ayah pasti datang pada hari ulangtahunmu, Nak,”
Mataku berair. Aku tidak bisa berkata apa-apa pada Ayah. Entah mengapa, aku kesal pada Ayah. Ia tidak seharusnya meninggalkanku di rumah sendirian menjelang ulangtahunku yang ke tujuhbelas ini. Bahkan ia bilang akan memberikanku kejutan. apalgi, akhir-akhir ini hujan terus mengguyur desa kami diselingi dengan petir. Suasana yang tidak bersahabat.
“Pelangi? Kamu enggak marah kan sama Ayah?”
Aku diam sejenak.
“Tapi Ayah janji datang, ya!”
“Iya, Nak. Ya sudah kalau begitu. Kamu baik-baik ya, Nak, di rumah. Kalau ada perlu, kamu minta tolong aja sama The Upi”
“Iya, Yah,”
“Assalamu’alaikum,”
“Wa’alikummussalam,”
Aku langsung menaruh gagang telepon. Bibirku cemberut. Suara angin masih menggangguku.

Aku terbangun dari tidurku yang nyenyak. Hari ini hari ulangtahunku. Sedikit kecewa karena tak mendengar ucapan “Selamat Ulangtahun” dari ayah saat aku membuka mata. Namun, nanti sore aku akan bertemu dengannya. The Upi datang ke rumahku membawa seloyang kue tart cantik. Dia tetangga yang paling dekat denganku.
“Selamat Ulang Tahun, Pelangi,” ujar The Upi.
Aku tersenyum dan mengucapkan terimakasih. Kue itu bergambar Pelangi dan bertuliskan angka 17. tak perlu repot-repot mencantumkan namaku, rupanya.

Saat ini sudah jam 5 sore tapi ayahku belum juga datang. Aku mencoba menelepon ke tempat ia bekerja, tapi tak ada yang ,menjawab. Hari ini tidak hujan, tapi langit jauh lebih gelap dari biasanya. Hatiku mulai gelisah. Aku bertanya-tanya pada diriku apa gerangan yang mebuat ayahku melanggar janjinya. Ia bilang, jam 3 sudah sampai di sini. Tapi sekarang sudah hampir 3 jam aku menunggunya. Kue tart tidak kusentuh sama sekali. Aku menunggu ayahku dulu baru memotongnya bersama-sama sambil berdoa.

Sudah hampir jam 8, tapi tidak ada tanda-tanda ayahku akan muncul dari pintu depan atau membuat kejutan dari pintu belakang. Aku mencoba meyakinkan diriku. Ayah pasti datang. Ia tidak mungkin dan tidak pernah membiarkan aku melewatkan hari ulangtahunku sendirian. Tapi aku juga tahu bahwa ayahku tidak pernah melanggar janjinya. Dia si penepat janji.

Sampai akhrinya aku menyalakan televisi untuk memecah kebimbangan hatiku. Aku mengganti-ganti channel yang gambarnya bagus, karena selain cuacanya sedang tidak mendukung, antenna kami juga sudah lama rusak. Akhirnya aku berhenti pada satu channel yang gambarnya bagus. Berita malam. Aku tidak betul-betul mendengarkan pada awalnya karena memang sedang tidak mood. Aku hanya menatap kosong. Tak sadar, pipiku sudah basah. Mataku sembab. Aku lemas. Sungguh lemas. Batinku menangis, begitu pula dengan ragaku. Berita itu menyebutkan bahwa kereta api yang menuju Jawa Tengah –kereta api yang dikemudi oleh ayahku- mengalami kecelakaan karena menabrak pembatas. Lanjutnya, jenazah masinis kereta tidak ditemukan. Aku tahu pipiku sudah sangat basah dan mataku pasti sudah sangat bengkak. Tapi, perasaan yang mengatakan bahwa hidupku tidak akan berjalan normal kembali, sangat menyesakkanku. Tanpa sadar, aku terlelap di depan televisi.

Keesokan harinya aku bangun. Sesaat, ingin sekali menganggap kejadian semalam sebagai satu mimpi buruk. Tapi, Koran pagi ini ternyata memupuskannya. Masinis itu, ayahku, masih belum ditemukan. Aku tidak dapat berbuat apa-apa. Aku tahu bahwa ini memang sudah menjadi bagian dari hidupku. Tapi, sholat shubuh pagi ini benar-benar menyejukkan pikiran dan hatiku.

Setelah sholat, aku segera mengikatkan tali sepatuku dan bergegas menuju ke bukit. Aku tahu, itu satu-satunya tempat di mana aku bisa merasa damai. Walaupun aku juga tahu bahwa tempat itu akan selalu mengingatkanku pada ayah. Dan aku memang tidak berniat untuk menghapus kenangan kami. Jalan menuju bukit terasa sangat ringan, entah mengapa. Kaki-kakiku terus mengayun melewati jalan setapak itu sampai pada akhirnya aku sampai di puncak bukit. Tiba-tiba, seekumpulan warna-warna cerah muncul di hadapanku. Pelangi.
“Tadi malam pasti hujan,” gumamku dalam hati.
Aku menengok ke salah satu sisi bukit dimana tertancap bendera Indonesia. Di dalam udara pagi yang harum, aku berkata dalam hatiku.
“Ayah, aku akan mencoba untuk selalu menjadi si merah. Yang selalu tegar dalam setiap masalah. Dan ayah akan selalu menjadi si putih. Yang selalu memberikan kedamaian,”

Langkah-langkahku berikutnya menjadi langkah awal dalam hidupku. Di usia tujuh belas tahun lebih sehari ini, aku akan memulai hidup baru dengan tegar. Dan aku tahu, di mana ada pelangi, di situ ayah akan ada untukku.
5 100%HALAL: Pelangi Untuk Ayah Anak-anak itu kembali menjahiliku. Ini semua gara-gara namaku. Pelangi. Nama pemberian ayahku, orang yang satu-satunya kucintai. Ibuku su...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam...!!!

< >