Senin, 11 April 2011
“Jangan! Jangan ambil uangku, aku sudah lama mengumpulkan uang ini, ini buat berobat ibuku, ibuku sakit keras, ibuku sangat memerlukan uang ini. Jangan ambil uangku,” suara itu masih terngiang di telinga Parto.
Sudah empat tahun berlalu tapi dia tak bisa menghilangkan bayangan suara anak itu, seolah-olah anak itu selalu mengikutinya. entah rasa bersalah atau apa yang pasti sejak kejadian itu hidupnya tidak tenang. Dan ia akan tertawa terbahak bahak, anak itu menangis tersedu, dan ia akan terus menunggu anak itu.
***
“Abang ini bagaimana, becus nggak sih cari uang. Anakmu sudah dua hari hanya makan nasi sama garam, belum lagi biaya sekolah nunggak tiga bulan. Bukankah kamu tak ingin anak-anak kita bernasib sama dengan kita,” seperti pagi-pagi sebelumnya istri Parto mulai uring-uringan, hari masih pagi, Parto baru saja terjaga dari tidurnya, sudah disapa oleh uringan istrinya.
“Diam!” bentaknya. “Aku juga sudah tahu, bukannya aku tak peduli, tapi bagai mana lagi, kamu juga tahu aku baru saja di PHK, bukankah uang pesangon masih ada, beri aku waktu untuk cari kerjaan baru,” Parto sudah tidak bisa menahan emosinya, ia sudah bosan dengan omongan istrinya.
“Hah uang pesangon katamu? Uangmu sudah habis sebulan lalu. dan kamu, apa usahamu semenjak di PHK kau hanya tidur, minum, berjudi. Suami macam apa kamu ini. Kalau saja aku tak kerja keras cari kerjaan serabutan kesana-kemari, mungkin kamu sudah jadi bangkai sejak kemarin dulu. Apakah kamu tidak tahu kalau selama ini kamu makan dari hasil cucuran keringatku?” istrinya tak mau kalah.
Sebenarnya kala itu Parto sangat merasa bersalah, namun bagai manapun juga sebagai seorang lelaki ia tak mau harga dirinya direndahkan seperti itu. “Hah, baru segitu saja kau sudah bangga, sudah berani merendahkan aku, sudah mersa berjasa ya? Apakah kau tidak tahu, aku bekerja untuk makan kau dan anakmu sudah hampir sepuluh tahun, aku tak pernah membanggakan diri,” Parto mulai naik pitam.
“Tapi, Bang, bukan itu maksudku, aku hanya…”
“Diam kau, aku muak mendengar ocehanmu,” ia meraih kendi air di sebelah tempat tidurnya, dengan emosi ia lemparkan ke arah istrinya.
Brakk! Pecahan kendi berserakan kemana-mana. Untung saja istri Parto masih sempat mengelak. Ia berlari ke kamar dan menguncinya dari dalam.
“Hai keluar kau! Dasar istri kurang ajar, beraninya kau menghinaku,” Parto mulai
kehilangan kendali.
***
Dua hari ini Parto malas balik ke rumahnya. Ia sudah bosan dengan ocehan istrinya, ia sudah muak direndahkan. Ia menghabiskan waktunya dengan berjudi dan minum-minum. Tapi ia perlu uang juga, lama-lama uangnya menipis, sedangkan ia terlalu gengsi untuk minta ke istrinya. Akhirnya Parto pulang juga walau bagaimana pun istrinya pasti akan memberinya uang, begitu pikirnya, bukankah ia bisa mengancamnya. Dengan sempoyongan ia balik ke rumahnya, ia mabuk berat, rumahnya yang hanya beberapa ratus meter dari warung darjo tempat ia mabuk-mabuk dan main judi terasa jauh sekali.
***
Malam itu sangat sepi, tampak seorang bocah penyemir sepatu menghitung uangnya hasil upah kerjanya seharian, rupanya penghasilannya saat ini cukup besar. Dengan hati riang dia timang timang uang itu, dia tak mengira kalau dia terancam bahaya, dan mungkin uangnya akan segera berpindah tangan.
Parto memperhatikan dengan jelas apa yang dilakukan anak itu. Terbersit dipikirannya untuk memiliki uang itu. Tentu saja di saat ini ia sangat membutuhkan uang. Mungkin istrinya tak akan ngomel terus bila ia memberi uang, dan ia akan menikmati kembali tubuh istrinya yang sudah dua bulan ia tak menikmatinya.
***
“Rokayah, buka pintu! Aku bawa uang sekarang, kau tak perlu mengomeliku hari ini, dan tentu saja kau mau melayaniku malam ini, bukan?” Parto memanggil istrinya.
“Sebentar, Bang!” jawab istrinya.
Pintu pun terbuka, Parto masuk dan langsung merebahkan diri di sofa yang bolong-bolong di sana-sini.
“Hai, Bang, dapat uang dari mana kamu?” tanya istrinya.
“Aah, kau tak perlu tahu dari mana uang ini. Yang penting uang ini cukup untuk kau dan anakmu makan seminggu, setelah itu aku akan cari lagi,” sergah Parto mulai naik pitam.
“Bukan begitu, Bang, aku takut kamu berbuat yang tidak-tidak,” jawab istrinya.
“Rupanya kau tidak percaya kepadaku?” tanya Parto.
“Tidak, Bang, aku percaya sama kamu,” istrinya tak mau terus berdebat. “O, aku lupa ada berita baik untukmu, perusahaan tempat kerjamu dulu memangilmu untuk bekerja kembali, ini surat pemanggilannya,” kata istri Parto sambil menyerahkan surat itu.
Parto tercengang, rupanya ia sedikit menyesal, kalau tahu begini ia mungkin tak perlu merampok anak itu.
***
Satu tahun berlalu, kini Parto dan keluargan sudah hidup mapan, tapi ada satu yang masih menjadi beban pikirannya, ia ingin mengembalikan uang yng dulu ia rampok, setiap malam setelah dia pulang kerja ia akan menunggu anak itu ijmbatan tempat dulu ia merampok anak itu. Namun anak itu bagai menghilang ditelan bumi. Ia tak pernah muncul lagi.
“Bagaimana nasib anak itu, apakah ibunya sembuh atau mati, ataukah anak itu mati kelaparan setelah ditinggal ibunya,” mungkin itu yang dipikirkan Parto selama ini.
***
Seperti biasa malam itu Parto masih menunggu kedatangan anak itu, ia berharap suatu saat rasa berdosanya akan dapat hilang, dua jam ia menunggu, anak itu tak muncul juga, uang itu masih digenggamnya. Sekonyong-konyong seseorang merebut uang itu dan berlari, Parto kaget.
“Jambret, maliing,” teriaknya. Tapi kala itu jalan sangat sep, tak ada yang mendengar teriakannya. Bergegas ia mengejar anak itu. Ia raih batu besar di pinggir jalan, ia lemparkan ke arah anak itu, dan bruk! anak itu tersungkur ke jalan aspal. Lemparan Parto tepat mengenai kepala anak itu.
Malang nasib anak itu. Sebelum Parto menghampirinya, sebuah sedan melaju dengan kencang. Dan brak! Anak itu tergilas.
Tiba-tiba semua hening. Parto menghampiri anak itu, dan menatap wajahnya, Parto tercengang, rupanya anak itu, ya, itu adalah anak yang dia rampok dulu.
“Tidak, jangan, jangan mati, aku belum mengembalikan uangmu, tidaaak!” teriaknya. “Aku membunuhnya… Aku membunuhnya, tidaaak!!!”
***
5
100%HALAL: Anak Itu...
“Jangan! Jangan ambil uangku, aku sudah lama mengumpulkan uang ini, ini buat berobat ibuku, ibuku sakit keras, ibuku sangat memerlukan ua...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Perasaan kenal ma cerpennys
BalasHapus