VI
Raden Wijaya yang diceritakan ke utara tersebut diberi tahu, bahwa Batara Siwa
Buda wafat, karena tentara Daha turun dari selatan, patih tua juga telah gugur, semua
mengikuti jejak batara.
Segera Raden Wijaya kembali, beserta hamba hambanya, berlari lari ke Tumapel,
melakukan pembalasan, tidak berhasil, bahkan terbalik, dikejar, diburu oleh Kebo
Mundarang, Raden Wijaya naik keatas, mengungsi di Sawah Miring, maksud Kebo
Mundarang akan menusuknya dengan tombak, Raden Wijaya menyepak tanah bekas di
tenggala, dada Kebo Mundarang sampai mulanya penuh lumpur, ia mundur sambil
berkata: "Aduh, memang sungguh dewalah tuanku ini."
Sekarang Raden Wijaya membagi bagi cawat kain ikat berwarna merah, diberikan kepada
hamba hambanya, masing masing orang mendapat sehelai, ia bertekad untuk mengamuk.
Yang mendapat bagian, yalah: Sora, Rangga Lawe, Pedang, Dangdi dan Gajah Sora,
segera menyerang, banyak orang Daha yang mati.
Kata Sora: "Sekarang ini, tuan, hendaknyalah menyerang, sekarang baik kesempatan dan
saatnya."
Raden Wijaya lekas lekas menyerang, semakin banyak orang Daha yang mati, mereka
lalu mundur, diliputi malam, akhirnya berkubu.
Pada waktu sunyi orang telah tidur, dikejar dan diamuk lagi oleh Raden Wijaya, sekarang
orang orang Daha bubar, banyak yang tertusuk oleh tombak temannya sendiri, repotlah
orang prang Daha itu larinya.
Batara Siwa Buda mempunyai dua orang anak perempuan, mereka ini akan dikawinkan
dengan Raden Wijaya, demikianlah maksud Batara Siwa Buda itu, kedua duanya ditawan
oleh orang Daha, puteri yang muda berpisah dengan puteri yang tua, tidak menjadi satu
arah larinya, berhubung dengan kerepotan orang Daha, disebabkan Raden Wijaya
mengamuk itu.
Pada waktu malam tampak api unggun orang Daha bernyala dan oleh Raden Wijaya,
yang segera dikenal, bahwa itu adalah puteri yang tua. Lekas lekaslah diambil oleh Raden
Wijaya, lalu berkata: "Nah, Sora, marilah mendesak mengamuk lagi, agar dapat bertemu
dengan puteri muda."
Sora berkata: "Janganlah tuan, bukankah adik tuan yang tua sudah tuan temukan,
berapakah jumlah hamba tuanku sekarang ini."
Jawab Raden Wijaya: "Justru karena itu."
Maka Sora berkata lagi: "Lebih baik tuanku mundur saja, karena kalau memaksa
mengamuk, seandainya berhasil itu baik, kalau adik tuanku yang muda dapat ditemukan,
kalau tidak dapat ditemukan, kita akan seperti anai anai menyentuh pelita."
Sekarang mereka mundur, puteri bangsawan didukung, semalam malaman mereka
berjalan ke utara, keesokan harinya dikejar oleh orang Daha, terkejar disebelah selatan
Talaga Pager.
Orang orangnya ganti berganti tinggal dibelakang, untuk berperang, menghentikan orang
Daha.
Gajah Pagon kena tombak tembus pahanya, tetapi masih dapat berjalan.
Kata Raden Wijaya: "Gajah Pagon, masih dapatkah kamu berjalan, kalau tidak dapat,
mari kita bersama sama mengamuk." "masih dapatlah hamba, tuanku, hanya saja
hendaknya perlahan lahan."
Orang orang Daha tidak begitu giat mengejarnya, kemudian mereka kembali di Talaga
Pager.
Raden Wijaya masuk belukar, keluar belukar seperti ayam hutan, dan hamba hambanya
yang mengiring semua, ganti berganti mendukung puteri bangsawan.
Akhirnya hamba hambanya bermusyawarah, membicarakan tentang keadaan Raden
Wijaya.
Setelah putus pembicaraannya, semuanya bersama sama berkata: "Tuanku, sembah
hamba hamba tuanku semua ini, bagaimana akhir tuanku yang masuk belukar dan keluar
belukar seperti ayam hutan itu, pendapat hamba semua, lebih baik tuanku pergi ke
Madura Timur, hendaknyalah tuanku mengungsi kepada Wiraraja, dengan pengharapan
agar ia dapat dimintai bantuan, mustahil ia tidak menaruh belas kasihan, bukankah ia
dapat menjadi besar itu karena ayah tuanku almarhum yang menjadi lantarannya."
Kata Raden: "Itu baik, kalau ia menaruh belas kasihan, kalau tidak, saya akan sangat
malu."
Jawab Sora, Rangga Lawe dan Nambi serentak dengan suara bersama: "Bagaimana dapat
Wiraraja melengos terhadap tuanku."
Itulah sebabnya Raden Wijaya menurut kata kata hambanya. Mereka keluar dari dalam
hutan, datang di Pandakan, menuju ke orang tertua di Pandakan, bernama Macankuping.
Raden Wijaya minta diberi kelapa muda, setelah diberi, diminum airnya, ketika dibelah,
ternyata berisi nasi putih. Heranlah yang melihat itu.
Kata orang: "Ajaib benar, memang belum pernah ada kelapa muda berisi nasi."
Gajah Pagon tak dapat berjalan lagi, kata Raden Wijaya: "Orang tua di Pandakan, saya
menitipkan satu orang, Gajah Pagon ini tidak dapat berjalan, hendaknyalah ia tinggal di
tempatmu."
Kata orang Pandakan: " Aduh, tuanku. itu akan tidak baik kalau sampai terjadi Gajah
Pagon didapati disini, mustahil akan ada hamba yang menyetujui di Pandakan, kehendak
hamba, biarlah ia berada di dalam pondok di hutan saja, di ladang tempat orang menyabit
ilalang, di tengah tengahnya setelah dibersihkan, dibuatkan sebuah dangau, sunyi, tad ada
seorang hamba yang mengetahui, hamba di Pandakan nanti yang akan memberi makan
tiap tiap hari."
Gajah Pagon lalu ditinggalkan, Raden Wijaya selanjutnya menuju ke Datar, pada waktu
malam hari. Sesampainya di Datar, lalu naik perahu.
Tentara Daha lalu kembali pulang. Puteri yang muda masih terus ditawan, dibawa ke
Daha, dipersembahkan kepada raja Jaya Katong.
Ia senang diberi tahu tentang Batara Siwa Buda wafat.
Raden Wijaya menyeberang ke Utara, turun di daerah perbatasan Sungeneb, bermalam di
tengah tengah sawah yang baru saja habis disikat, pematangnya tipis.
Sora lalu berbaring meniarap, Raden Wijaya dan puteri bangsawan itu duduk diatasnya.
Pagi harinya melanjutkan perjalanannya ke Sungeneb, beristirahat di dalam sebuah balai
panjang. hamba hamba disuruh melihat lihat, kalau kalau Wiraraja sedang duduk dihadap
hamba hambanya.
Kembalilah mereka yang disuruh itu, memang Wiraraja sedang dihadap.
Berangkatlah raden Wijaya menuju tempat Wiraraja dihadap, terperanjatlah Wiraraja
melihat Raden itu, Wiraraja turun, lalu masuk kedalam rumah, bubarlah yang
menghadap.
Terhenti hati Raden Wijaya, berkata kepada Sora dan Ranggalawe: "nah, apakah kataku,
saya sangat malu, lebih baik aku mati pada waktu aku mengamuk dahulu itu."
Maka ia kembali ke balai panjang, kemudian Wiraraja datang menghadap, berbondong
bondong dengan seisi rumah, terutama isterinya, bersama sama membawa sirih dan
pinang.
Kata Ranggalawe: "Nah, tuanku, bukankah itu Wiraraja yang datang menghadap kemari."
Maka senanglah hati Raden Wijaya.
Isteri Adipati mempersembahkan sirih kepada Raden Wijaya.
Wiraraja itu meminta, agar Raden Wijaya masuk di perumahan Adipati. Sang puteri
bangsawan naik kereta, isteri Wiraraja semua berjalan kaki, mengiring puteri bangsawan
itu, dan Wiraraja mengiring Raden Wijaya.
Setelah datang di rumah tempat Wiraraja tidur. Raden Wijaya dihadap didalam balai
nomor dua sebelah luar, ia menceriterakan riwayat bagaimana sang batara yang gugur
ditengah tengah minum minuman keras itu meninggal dunia, juga menceriterakan
bagaimana ia mengamuk orang Daha.
Berkatalah Wiraraja: "Sekarang ini, apakah yang menjadi kehendak tuan."
Raden Wijaya menjawab: "Saya minta persekutuanmu, jika sekiranya ada belas
kasihanmu."
Sembah Wiraraja: "Janganlah tuanku khawatir, hanya saja hendaknya tuan bertindak
perlahan lahan."
Selanjutnya Wiraraja mempersembahkan kain, sabuk dan kain bawah, semuanya dibawa
oleh isteri isterinya, terutama isteri pertamanya.
Kata Raden: "Bapa Wiraraja, sangat besar hutangku kepadamu, jika tercapailah tujuanku,
akan kubagi menjadi dua tanah Jawa nanti, hendaknyalah kamu menikmati seperduanya,
saya seperdua."
Kata Wiraraja: "bagaimana saja, tuanku, asal tuanku dapat menjadi raja saja."
Demikianlah janji Raden Wijaya kepada Wiraraja.
Luar biasa pelayanan Wiraraja terhadap Raden Wijaya, tiap tiap hari mempersembahkan
makanan, tak usah dikatakan tentang ia mempersembahkan minuman keras.
Lamalah Raden Wijaya bertempat tinggal di Sungeneb. Disitu Arya Wiraraja berkata:
"Tuanku hamba mengambil muslihat, hendaknya tuanku pergi menghamba kepada raja
Jaya Katong, hendaknyalah tuan seakan akan minta maaf dengan kata kata yang
mengandung arti tunduk, kalau sekiranya raja Jaya Katong tak berkeberatan, tuan
menghamba itu, hendaknyalah tuan lekas lekas pindah bertempat tinggal di Daha, kalau
rupanya sudah dipercaya, hendaknyalah tuan memohon hutan orang Terik kepada raja
Jaya Katong, hendaknyalah tuan membuat desa disitu, hamba hamba Maduralah yang
akan menebang hutan untuk dijadikan desa, tempat hamba hamba Madura yang
menghadap tuanku dekat.
Adapun maksud tuanku menghamba itu, agar supaya tuan dapat melihat lihat orang orang
raja Jaya Katong, siapa yang setia, yang berani, yang penakut, yang pandai, terutama juga
hendaknyalah tuan ketahui sifat sifat Kebo Mundarang, sesudah itu semua dapat diukur,
hendaknyalah tuanku memohon diri pindah ke hutan orang Terik yang sudah dirubah
menjadi desa oleh hamba hamba Madura itu, masih ada perlunya lagi, yalah: "Jika ada
hamba hamba tuanku yang berasal dari Tumapel ingin kembali menghamba lagi kepada
tuan, hendaknyalah tuan terima, meskipun hamba hamba dari Daha juga, jika mereka
ingin mencari perlindungan kepada tuan, hendaknyalah tuan lindungi, jika semua itu
sudah, maka tentara Daha tentu terkuasai oleh tuanku. Sekarang hamba akan berkirim
surat kepada raja Jaya Katong."
Berangkatlah orang yang disuruh mengantarkan surat, menyeberang ke selatan,
menghadap raja Jaya Katong, mempersembahkan surat itu.
Adapun bunyi surat: "Tuanku, patik baginda memberi tahu, bahwa cucu paduka baginda
mohon ampun, ingin takluk kepada paduka baginda, hendaknyalah paduka baginda
maklum, terserah apakah itu diperkenankan atau tidak diperkenankan oleh paduka tuan."
Kata Raja Jaya Katong: "Mengapa kami tidak senang, kalau buyung Arsa Wijaya akan
menghamba kepada kami."
Selanjutnya disuruh kembalilah utusan itu untuk menyampaikan kata katanya.
Setelah utusan datang lalu menyampaikan perintah.
Surat telah dibaca dimuka Raden Wijaya dan dimuka dimuka Wiraraja.
Wiraraja senang.
Segera Raden Wijaya kembali ke Pulau Jawa, diiring oleh hamba hambanya, dihantarkan
oleh orang orang Madura, dan Wiraraja juga menghantarkan kembali di Terung.
Setelah datang di Daha, ia dengan tenteram dapat menghadap raja Jaya Katong, sangat
dicintai.
Ketika ia datang di Daha, kebetulan tepat pada hari raya Galungan, hamba hambanya
disuruh oleh raja untuk mengambil bagian didalam pertandingan, menteri menteri Daha
sangat heran, karena orang orang itu baik semua, terutama Sora, Rangga Lawe, Nambi,
Pedang dan Dangdi, mereka bersama sama lari ketempat pertandingan di Manguntur
negara Daha.
Bergantilah menteri menteri Daha lari, diantaranya yang merupakan perjurit utama,
yalah: Panglet, Mahisa Rubuh dan Patih Kebo Mundarang, mereka ketiga tiganya kalah
cepat larinya dengan Rangga Lawe dan Sora.
Lama kelamaan Raja Jaya Katong mengadakan pertandingan tusuk menusuk, "Puteraku
Arsa Wijaya, hendaknyalah kamu ikut bermain tusuk menusuk, kami ingin melihat,
menteri menteri kamilah yang akan menjadi lawanmu."
Jawab Raden Wijaya: "Baiklah tuanku."
Bertandinglah mereka tusuk menusuk itu, riuh rendah suara bunyi bunyian, orang yang
melihat penuh tak ada selatnya, orang orang raja Jaya Katong sering kali terpaksa lari.
Kata raja Jaya Katong: "Pintalah buyung Arsa Wijaya, jangan ikut serta, siapakah yang
berani melawan tuannya."
Raden Wijaya berhenti, kini sepadanlah pertandingan tusuk menusuk itu, kejar mengejar,
kemudian Sora menuju ke arah Kebo Mundarang, Rangga Lawe menuju Panglet dan
Nambi menuju ke Mahisa Rubuh, akhirnya terpaksa lari menteri menteri Daha itu
menghadapi orang orang Raden Wijaya, tak ada yang mengadakan pembalasan, lalu
bubar.
Sekarang Raden Wijaya telah melihat, bahwa menteri menteri Daha dikalahkan oleh
orang orangnya.
Lalu ia berkirim surat kepada Wiraraja, selanjutnya Wiraraja menyampaikan pesan, agar
Raden Wijaya memohon hutan orang Terik.
Raja Jaya Katong memperkenankan. Inilah asal usul orang mendirikan desa di hutan
orang Terik.
Ketika desa sedang dibuat oleh orang orang Madura, ada orang yang lapar karena kurang
bekalnya pada waktu ia menebang hutan, ia makan buah maja, merasa pahit, semua
dibuanglah buah maja yang diambilnya itu, terkenal ada buah maja pahit rasanya, tempat
itu lalu diberi nama Majapahit.
Raden Wijaya telah dapat memperhitungkan keadaan Daha. Majapahit telah berupa desa.
Orang orang Wiraraja yang mengadakan hubungan dengan Daha, beristirahat di
Majapahit.
Wiraraja berkirim pesan kepada Raden Wijaya, bagaimana caranya memohon diri kepada
raja Jaya Katong.
Sekarang Raden Wijaya meminta ijin pindah ke Majapahit.
Raja Jaya Katong memperkenankannya, lengah karena rasa sayang dan karena
kepandaian Raden Wijaya menghamba itu, seperti sungguh sungguh.
Setelah Raden Wijaya pindah ke Majapahit, lalu memberi tahu kepada Wiraraja, bahwa
menteri menteri Daha telah dapat dikuasai olehnya dan oleh hamba hambanya semua.
Raden Wijaya mengajak Wiraraja menyerang Daha, Wiraraja menahan, berkata kepada
utusannya: "Jangan tergesa gesa, masih ada muslihat saya lagi, hendaknyalah kamu
wahai utusan, bersembah kepada tuanmu, saya ini berteman dengan raja Tatar, itu akan
kutawari puteri bangsawan, hendaknyalah kamu utusan, pulang ke Majapahit sekarang.
Sepergimu saya akan berkirim surat ke Tatar. Ada perahuku, itu akan saya suruh ikut
serta ke Tatar, agar supaya menyampaikan ajakan menyerang Daha.
Jika raja Daha telah kalah, maka seluruh pulau Jawa tak ada yang menyamai, itu nanti
dapat dimiliki oleh raja Tatar, demikian itu penipuanku terhadap raja Tatar.
Hendaknyalah kamu memberi tahu kepada Sang Pangeran, bahwasanya ini agar supaya
raja itu mau ikut serta mengalahkan Daha."
Utusan pulang kembali ke Majapahit, Raden Wijaya senang diberi tahu semua pesan
Wiraraja itu.
Sesudah utusan kembali, Wiraraja lalu berkirim utusan ke Tatar. Wiraraja pindah ke
Majapahit, seisi rumah dan membawa tentara dari Madura, yalah semua orang Madura
yang baik dibawa beserta senjatanya.
Setelah utusan datang dari Tatar, lalu menyerang Daha.
Tentara Tatar keluar dari sebelah utara, tentara Madura dan Majapahit keluar dari timur,
Raja Katong bingung, tak tahu mana yang harus dijaga.
Kemudian diserang dengan hebat dari utara oleh tentara Tatar.
Kebo Mundarang, Panglet dan Mahisa Rubuh menjaga tentara dari timur. Panglet mati
oleh Sora, Kebo rubuh mati oleh Nambi, Kebo Mundarang bertemu dengan Rangga
Lawe, terpaksa larilah Kebo Mundarang, dapat dikejar di lembah Trinipati, akhirnya mati
oleh Rangga Lawe, Kebo Mundarang berpesan kepada Rangga Lawe: "Wahai Rangga
Lawe, saya mempunyai seorang anak perempuan, hendaknyalah itu diambil oleh Ki Sora
sebagai anugerah atas keberaniannya."
Raja Jaya Katong yang bertempur ke Utara, bersenjatakan perisai, diserang bersama sama
oleh orang orang Tatar, akhirnya tertangkap dan dipenjara oleh orang Tatar.
Raden Wijaya lekas lekas masuk kedalam istana Daha, untuk melarikan puteri
bangsawan yang muda, lalu dibawa ke Majapahit, sedatangnya di Majapahit orang orang
Tatar datang untuk meminta puteri puteri bangsawan, karena Wiraraja telah
menyanggupkan itu, jika Daha telah kalah, akan memberikan dua orang puteri
bangsawan yang berasal dari Tumapel, kedua duanya semua.
Maka bingunglah para menteri semua, mencari cari kesanggupan lain,
Sora berkata: "Nah, saya saja yang akan mengamuk bilamana orang orang Tatar datang
kemari."
Arya Wiraraja menjawab: "Sesungguhnya, wahai buyung Sora, masih ada muslihatku
lagi."
Maka dicari dicarilah kesanggupan kesanggupan. Itulah yang dimusyawarahkan oleh
menteri menteri.
Sora menyatakan kesanggupannya: " Tak seberapa kalau saya mengamuk orang orang
Tatar."
Pada waktu sore hari, waktu matahari sudah condong ke barat, orang orang Tatar datang
meminta puteri puteri bangsawan.
Wiraraja menjawab: "Wahai, orang orang Tatar semua, janganlah kamu kalian tergesa
gesa, puteri puteri raja itu sedang sedih, karena telah cemas melihat tentara tentara pada
waktu Tumapel kalah, lebih lebih ketika Daha kalah, sangat takut melihat segala yang
serba tajam. Besok pagi saja mereka akan diserahkan kepada kamu, ditempatkan kedalam
kotak, diusung, dihias dengan kain kain, dihantarkan ke perahumu, sebabnya mereka
ditempatkan didalam peti itu, karena mereka segan melihat barang barang yang tajam,
dan yang menerimanya puteri puteri bangsawan itu, hendaknyalah jangan orang Tatar
yang jelek, tetapi orang orang yang bagus jangan membawa teman, karena janji puteri
puteri bangsawan itu, kalau sampai terjadi melihat yang serba tajam, meskipun sudah tiba
diatas perahu, mereka akan terjun kedalam air, bukankah akan sia sia saja, bahwasanya
kalian telah mempertaruhkan jiwa itu, jika puteri puteri bangsawan ini sampai terjadi
terjun kedalam air."
Percayalah orang orang Tatar, ditipu itu. Kata seorang Tatar: "Sangat betul perkataan
tuan."
Sesudah datang saat perjanjian menyerahkan puteri puteri bangsawan itu, orang orang
Tatar datang berbondong bondong meminta puteri puteri bangsawan, semua tak ada yang
membawa senjata tajam.
Setelah mereka masuk kedalam pintu Bayangkara, orang orang Tatar itu ditutupi pintu,
dikunci dari luar dan dari dalam, Sora telah menyisipkan keris pada pahanya.
Sekonyong konyong orang orang Tatar diamuk oleh Sora, habis, mati semua.
Ranggalawe mengamuk kepada mereka yang berada di luar balai tempat orang
menghadap, dikejar sampai ketempat kemana saja mereka lari, kemuara Canggu, diikuti
dan dibunuh.
Kira kira sepuluh hari kemudian, mereka yang pergi berperang, datang dari Malayu,
mendapat dua orang puteri, yang seorang dikawin oleh Raden Wijaya, yalah yang
bernama Raden Dara Pethak, adapun yang tua bernama Dara Jingga, kawin dengan
seorang Dewa, melahirkan seorang anak laki laki menjadi raja di Malayu, bernama Tuhan
Janaka, nama nobatannya: Sri Warmadewa alias Raja Mantrolot.
Peristiwa Malayu dan Tumapel itu bersamaan waktunya pada tahun Saka: Pendeta
Sembilan Bersamadi atau 1197.
Raja Katong naik diatas tahta kerajaan di Daha pada tahun Saka: Ular Muka Dara
Tunggal atau 1198.
Setelah Raka Katong datang di Junggaluh ia mengarang kidung: Wukir Polaman, selesai
mengarang kidung ia wafat.
VII
Sekarang Raden Wijaya menjadi raja pada tahun Saka: Rasa Rupa Dua Bulan atau
1216. Kemudian ia mempunyai seorang anak laki laki dari Dara Pethak, nama
kesatriyannya: Raden Kalagemet. Adapun dua orang anak perempuan Batara Siwa Buda,
yang dibayang bayangkan kepada orang Tatar, keduanya itu juga dikawin oleh Raden
Wijaya, yang tua menjadi ratu di Kahuripan, yang muda menjadi ratu di Daha.
Nama nobatan Raden Wijaya pada waktu menjadi raja: Sri Kertarajasa.
Didalam tahun pemerintahannya ia mendapat penyakit bisul berbengkak.
Ia wafat di Antapura, wafat pada tahun 1257.
VIII
Raden Kalagemet menggantikannya menjadi raja, nama nobatannya: Batara
Jayanagara. Sri Siwa Buda dicandikan di Tumapel, nama resmi candi: Purwa Patapan.
Berdiri candi itu berselat 17 tahun dengan peristiwa Ranggalawe.
Ranggalawe akan dijadikan patih, tetapi urung, itulah sebabnya maka ia mengadakan
pemberontakan di Tuban, dan mengadakan perserikatan dengan kawan kawannya.
Telah terjadi orang orang Tuban di gunung sebelah utara dimasukkan didalam
perserikatannya , mereka itu semua menaruh perhatian kepada Ranggalawe.
Nama orang orang yang menyetujuinya, yalah: Panji Marajaya, Ra Jaran Waha, Ra Arya
Sidi, Ra Lintang, Ra Tosan, Ra Galatik, Ra Tati, mereka itu teman teman Ranggalawe
pada waktu berontak.
Adapun sebabnya ia pergi dari Majapahit itu, merebut kedudukan, Mahapati menjalankan
fitnah dengan bahan kata kata Ranggalawe: "Jangan banyak bicara, didalam kitab
Partayadnya ada tempat untuk penakut penakut."
Setelah terdengar, bahwa Ranggalawe berontak, Mahapatih-lah yang memberi memberi
tahu hal itu, maka raja Jayanagara marah, semua teman teman Ranggalawe didalam
pemberontakan itu mati, hanya Ra Gelatik yang masih hidup, karena ia disuruh berbalik
hati.
Peristiwa Ranggalawe itu pada tahun saka: Kuda Bumi Sayap Orang, atau 1217.
Wiraraja memohon diri untuk bertempat tinggal di Lamajang, yang luasnya tiga daerah
juru, karena Raden Wijaya telah berjanji akan membagi dua Pulau Jawa, dan akan
menganugerahkan daerah lembah Lumajang sebelah selatan dan utara beserta daerah tiga
juru.
Telah lama itu dinikmati oleh Wiraraja, Nambi masih menjadi patih, Sora menjadi
Demung dan Tipar menjadi Tumenggung.
Tumenggung pada waktu itu lebih rendah dari pada Demung.
Wiraraja tidak kembali ke Majapahit, ia tidak mau menghamba. Setelah berselat tiga
tahun dari peristiwa Ranggalawe maka terjadilah peristiwa Sora.
Sora difitnah oleh Mahapati, dan Sora ini dapat dilenyapkan, dibunuh oleh Kebo
Mundarang, pada tahun saka: Baba Tangan Orang atau 1222.
Juga Nambi difitnah oleh Mahapati, jasa jasa perangnya tidak diperhatikan, pada waktu ia
melihat saat yang tepat dan baik, ia memohon diri untuk meninjau Wiraraja yang
menderita sakit. Sri Jayanagara memberi ijin, hanya saja tidak diperkenankan pergi lama
lama.
Nambi tak datang kembali, menetap di Lembah, mendirikan benteng, menyiapkan
tentara.
Wiraraja meninggal dunia.
Sri Jayanagara menjadi raja, lamanya dua tahun.
Ada peristiwa gunung meletus, yalah gunung Lungge pada tahun saka: Api Api Tangan
Satu atau : 1233.
Selanjutnya terjadi peristiwa Juru Demung, berselat dua tahun dengan peristiwa Sora.
Juru Demung mati pada tahun saka: Keinginan Sifat Sayap Orang, atau: 1235.
Lalu terjadi peristiwa Gajah Biru pada tahun saka: Rasa Sifat Sayap Orang atau: 1236.
Selanjutnya terjadi peristiwa Mandana, Jayanagara berangkat sendiri untuk melenyapkan
orang orang Mandana.
Sesudah itu ia pergi ke timur untuk melenyapkan Nambi.
Nambi diberi tahu, bahwa Juru Demung sudah mati, demikian pula patih pengasuh,
Tumenggung Jaran Lejong, menteri menteri pemberani semua sudah mati, gugur di
medan perang.
Nambi berkata: "Kakak Samara, Ki Derpana, Ki Teguh, Paman Jaran Bangkal, Ki Wirot,
Ra Windan, Ra Jangkung, jika dibanding banding, orang orang disebelah timur ini, tak
akan kalah, apalagi setelah mereka sudah rusak itu, siapa lagi yang menjadi teras orang
orang sebelah barat, apakah Jabung Terewes, Lembu Peteng atau Ikal Ikalan Bang, saja
tak akan gentar, biar selaksa semacam itu didepan dan dibelakang, akan kuhadapi pula
seperti perang di Bubat."
Setelah orang orang Majapahit datang, dan Nambi pergi ke selatan, maka Ganding rusak,
piyagamnya dapat dirampas, Nambi dikejar kejar dan didesak, Derpana, Samara, Wirot
Made, Windan, Jangkung mulai bertindak, terutama Nambi, ia mengadakan serangan
pertama tama. seakan akan tercabutlah orang orang Majapahit, tak ada yang mengadakan
perlawanan.
Jabung Terewes, Lembu Peteng dan Ikal Ikalan Bang lalu bersama sama menyerang
Nambi, Nambi gugur, demikian pula teman teman Nambi yang menyerang tadi gugur
semua, patahlah perlawanan di Rabut Buhayabang, orang orang disebelah timur itu
mencabut payung kebesarannya, daerah Lumajang kalah pada tahun saka: Ular
Menggigit Bulan, atau: 1238.
Peristiwa Wagal dan Mandana itu bersamaan waktunya.
Berselat dua tahun Peristiwa Wagal dengan peristiwa Lasem. Semi dibunuh, ia mati
dibawah pohon kapuk, pada tahun saka: Bukan Kitab Suci Sayap Orang, atau: 1240.
Sesudah itu terjadi peristiwa Ra Kuti. Ada dua golongan Darmaputra Raja, mereka ini
dahulunya adalah pejabat pejabat yang diberi anugerah raja, banyaknya tujuh orang,
bernama: Kuti, Ra Pangsa, Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Tanca dan Ra Banyak.
Ra Kuti dan Ra Semi dibunuh, karena difitnah oleh Mahapati, akhirnya Mahapati
diketahui melakukan fitnahan, ia ditangkap, dan dibunuh seperti seekor babi hutan,
dosanya akan pergi sendiri ke Bedander. Ia pergi pada waktu malam, tak ada orang tahu,
hanya orang orang Bayangkara mengiringkannya, semua yang kebetulan mendapat
giliran menjaga pada waktu raja pergi itu, banyaknya 15 orang, pada waktu itu Gajah
Mada menjadi Kepala Bayangkara dan kebetulan juga sedang menerima giliran menjaga,
itulah sebabnya ia mengiring raja pada waktu raja pergi dengan menyamar itu. Lamalah
raja tinggal di Bedander.
Adalah seorang pejabat, ia memohon ijin akan pulang kerumahnya, tidak diperbolehkan
oleh Gajah Mada, karena jumlah orang yang mengiring raja hanya sedikit, ia memaksa
akan pulang, lalu ditusuk oleh Gajah Mada, maksud ia menusuk itu, yalah: "jangan
jangan ia nanti memberi tahu, bahwa raja bertempat tinggal dirumah kepala desa
Bedander, sehingga Ra Kuti, sehingga Ra Kuti dapat mengetahuinya.
Kira kira lima hari kemudiannya Gajah Mada memohon ijin untuk pergi ke Majapahit.
Sedatangnya di Majapahit, Gajah Mada ditanyai oleh para Amanca Negara tentang
tempat raja, ia mengatakan, bahwa raja telah diambil oleh teman teman Kuti.
Orang orang yang diberi tahu semuanya menangis, Gajah Mada berkata: "Janganlah
menangis, apakah tuan tuan tidak ingin menghamba kepada Ra Kuti."
Menjawablah yang diajak berbicara itu: "Apakah kata tuan itu, Ra Kuti bukan tuan
kami."
Akhirnya Gajah Mada memberi tahu bahwa raja berada di Bedander, Gajah Mada lalu
mengadakan persetujuan dengan para menteri, mereka semua sanggup membunuh Ra
Kuti, dan Ra Kuti mati dibunuh.
Raja pulang dari Bedander, kepala desa ditinggalkan, selanjutnya ia menjadi orang yang
terkenal pada waktu itu.
Sesudah raja pulang, maka Gajah Mada tak lagi menjadi Kepala orang orang Bayangkara,
dua bulan lamanya ia mendapat cuti dibebaskan dari kewajiban, ia dipindah menjadi
Patih di Kahuripan, dua tahun lamanya menjadi patih itu.
Sang Arya Tilam, patih di Daha meninggal dunia, Gajah Mada menggantinya,
ditempatkan menjadi patih di Daha, patih Mangkubumi Sang Arya Tadah menyetujui,
ialah yang menyokong Gajah Mada menjadi patih di Daha itu.
Raja Jayanagara mempunyai dua orang saudara perempuan, lain ibu, mereka tak
diperbolehkan kawin dengan orang lain, akan diambil sendiri.
Pada waktu itu tak ada kesatriya di Majapahit, tiap tiap kesatriya yang tampak lalu
dilenyapkan, jangan jangan ada yang mengingini adiknya itu, itulah sebabnya maka
kesatriya kesatriya bersembunyi tidak keluar.
Isteri Tanca menyiarkan berita, bahwa ia diperlakukan tidak baik oleh raja.
Tanca dituntut oleh Gajah Mada. Kebetulan raja Jayanegara menderita sakit bengkak, tak
dapat pergi keluar, Tanca mendapat perintah untuk melakukan pembedahan dengan taji,
ia menghadap didekat tempat tidur. Raja ditusuk oleh Tanca dengan taji sekali dua kali,
tidak makan tajinya, lalu raja diminta agar supaya meletakkan jimatnya, ia meletakkan
jimatnya didekat tempat tidur, ditusuk oleh Tanca, tajinya makan, diteruskan ditusuk oleh
Tanca, sehingga mati ditempat tidur itu.
Tanca segera dibunuh oleh Gajah Mada, matilah Tanca.
Berselat sembilan tahunlah peristiwa Kuti dan peristiwa Tanca itu, pada tahun saka: Abu
Unsur memukul Raja atau: 1250.
Raja dicandikan di Kapopongan, nama resmi candi itu: Srenggapura, arcanya di
Antawulan.
Pada waktu itu para kesatriya menginjakkan kaki di Majapahit lagi.
Raden Cakradara dipilih pada sayembara menjadi suami seri ratu di Kahuripan.
Raden Kuda Merta kawin dengan seri ratu di Daha.
Raden Kuda Merta menjadi raja di Wengker, Sri Paduka Prameswara di Pamotan, nama
nobatannya: Sri Wijayarajasa.
Adalah anak Raden Cakradara, menjadi raja di Tumapel, nama nobatannya Sri
Kertawardana.
IX
Sri Ratu di kahuripan menjadi raja pada tahun saka: Sunyi Keinginan Sayap
Bumi, atau: 1250.
Seri Ratu di Kahuripan itu mempunyai tiga orang anak, yalah: Batara Prabu,
panggilannya Seri Hayam Wuruk, Raden tetep, sebutannya jika ia bermain kedok:
Dalang Tritaraju, jika ia bermain wayang dan melawak: Gagak Ketawang, di kalangan
pemeluk agama Siwa: Mpu Janeswara, nama nobatannya Seri Rajasa Nagara, sebagai
Prabu: Seri Baginda Sang Hyang Wekasing Suka.
Adiknya perempuan kawin dengan raden Larang, yang juga disebut Baginda di Matahun,
tidak mempunyai anak, adiknya yang bungsu, yalah: Seri ratu di Pajang, kawin dengan
Raden Sumana, yang juga disebut Baginda di Paguhan, ini adalah saudara sepupu Seri
Ratu di Kahuripan. Isteri Baginda di Gundal, dicandikan di Sajabung, nama resmi candi
itu: Bajra Jina Parimita Pura.
Selanjutnya terjadi peristiwa Sadeng.
Tadah yang menjadi patih Mangkubumi menderita sakit, sering sekonyong konyong tak
berkuasa menghadap, memajukan permohonan kehadapan Paduka batara untuk diijinkan
berhenti, tidak dikabulkan oleh Seri Ratu di Kahuripan, Sang Arya Tadah kembali
pulang, memanggil Gajah Mada, mengadakan pembicaraan di ruang tengah, Gajah Mada
diminta menjadi Patih di Majapahit, meskipun tidak berpangkat Mangkubumi: "Saya
akan membantu didalam soal soal yang luar biasa,"
Gajah Mada berkata: " Anaknda tidak sanggup jika menjadi patih sekarang ini, jika sudah
kembali dari Sadeng, hamba mau menjadi patih, itupun jika tuan suka memaafkan segala
kekurangan kemampuan anaknda ini."
"Nah, buyung, saya akan membantu didalam segala kesukaran, dan didalam soal soal
yang luar biasa."
Sekarang besarlah hati Gajah Mada, mendengar kesanggupan sang Arya Tadah itu. kini
ia berangkat ke Sadeng.
Para menteri araraman dibohongi, juga patih Mangkubumi juga kena tipu, bahwasanya
Kembar telah lebih dahulu mengepung Sadeng.
Mangkubumi marah, memberi perintah kepada menteri luar, banyak mereka yang
berangkat lima satuan, dikepalai oleh bekel, masing masing satuan terdiri dari lima orang.
Kembar dijumpai didalam hutan, mereka berdiri diatas pohon yang roboh, berayun ayun
seperti orang naik kuda sambil melambai lambaikan cambuk kepada mereka yang
menyuruh agar Kembar kembali dan tidak melanjutkan perjalanan.
Disampaikanlah pesan dari para menteri semua, terutama juga dari gusti patih
Mangkubumi, menyuruh agar Kembar kembali, karena dikhabarkan mendahului
mengepung orang orang Sadeng.
Dicambuklah muka orang yang menyuruh kembali, tidak kena karena berlindung dibalik
pohon, Kembar lalu berkata: "Tidak ada orang yang diindahkan oleh Kembar ini, didalam
perang saja tidak mau mengindahkan tuanmu itu."
Pergilah yang mendapat perintah untuk menyuruh kembali tadi, dan memberi tahu semua
yang dikatakan oleh Kembar.
Gajah Mada diam, merasa sangat diperolok olok, orang orang Sadeng dikepung, Tuhan
Waruju seorang Dewa Putera dari Pamelekahan, jikalau membunyikan cambuk,
terdengar di ruang angkasa, terperanjat orang Majapahit.
Segera Sang Sinuhun tadi datang, mengalahkan Sadeng.
Peristiwa Tanca dan Sadeng itu berselat tiga tahun, pada tahun saka: Tindakan Unsur
Lihat Daging, atau: 1256.
Setelah Kembar kembali dari Sadeng, lalu menjadi bekel araman, Gajah Mada menjadi
Angabehi, Jaran Baya, Jalu, Demang Bucang, Gagak Nunge, Jenar dan Arya Rahu
mendapat pangkat, Lembu Peteng menjadi Tumenggung.
Gajah Mada menjadi patih Mangkubumi, tidak mau mengambil istirahat, Gajah Mada
berkata: "Jika pulau pulau diluar Majapahit sudah kalah, saya akan istirahat, nanti kalau
sudah kalah Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda,
Palembang, Tumasik, barulah saya menikmati masa istirahat."
Pada waktu itu para menteri sedang lengkap duduk menghadap di balai penghadapan.
Kembar memperolok olok Gajah Mada dengan menyebut kesalahan kesalahan dan
kekurangan kekurangannya, dan menumpahkan telempak, Ra banyak ikut serta
menambah mengemukakan celaan celaan.
Jabung Terewes, Lembu Peteng tertawa. lalu Gajah Mada turun mengadukan soal itu
kehadapan batara di Koripan, baginda marah, kemarahan dan penghinaan ini disampaikan
kepada Arya Tadah.
Dosa Kembar telah banyak, Warak dilenyapkan, tak dikatakan pada Kembar, mereka
mati semua.
X
Selanjutnya terjadi peristiwa orang orang Sunda di Bubat.
Seri Baginda Prabu mengingini puteri Sunda. Patih Madu mendapat perintah
menyampaikan permintaan kepada orang Sunda, orang Sunda tidak berkeberatan
mengadakan pertalian perkawinan.
Raja Sunda datang di Majapahit, yalah Sang Baginda Maharaja, tetapi ia tidak
mempersembahkan puterinya.
Orang Sunda bertekad berperang, itulah sikap yang telah mendapat sepakat, karena Patih
Majapahit keberatan jika perkawinan dilakukan dengan perayaan resmi, kehendaknya
yalah agar puteri Sunda itu dijadikan persembahan.
Orang Sunda tidak setuju. Gajah Mada melaporkan sikap orang orang Sunda.
Baginda di Wengker menyatakan kesanggupan: "jangan khawatir, kakak Baginda,
sayalah yang akan melawan berperang."
Gajah Mada memberitahu tentang sikap orang Sunda. Lalu orang Majapahit berkumpul,
mengepung orang Sunda.
Orang Sunda akan mempersembahkan puteri raja, tetapi tidak diperkenankan oleh
bangsawan bangsawannya, mereka ini sanggup gugur dimedan perang di Bubat, tak akan
menyerah, akan mempertaruhkan darahnya.
Kesanggupan bangsawan bangsawan itu mengalirkan darah, para terkemuka pada fihak
Sunda yang bersemangat, yalah: Larang Agung, Tuhan Sohan, Tuhan Gempong, Panji
Melong, orang orang dari Tobong Barang, Rangga Cahot, Tuhan Usus, Tuhan Sohan,
Orang Pangulu, Orang Saja, Rangga Kaweni, Orang Siring, Satrajali, Jagadsaja, semua
rakyat Sunda bersorak.
Bercampur dengan bunyi bende, keriuhan sorak tadi seperti guruh.
Sang Prabu Maharaja telah mendahului gugur, jatuh bersama sama dengan Tuhan Usus.
Seri Baginda Parameswara menuju ke Bubat, ia tidak tahu bahwa orang orang Sunda
masih banyak yang belum gugur, bangsawan bangsawan, mereka yang terkemuka lalu
menyerang, orang Majapahit rusak.
Adapun yang mengadakan perlawanan dan melakukan pembalasan, yalah: Arya Sentong,
Patih Gowi, Patih Marga Lewih, Patih Teteg, dan Jaran Baya.
Semua menteri araman itu berperang dengan naik kuda, terdesaklah orang Sunda, lalu
mengadakan serangan ke selatan dan ke barat, menuju tempat Gajah Mada, masing
masing orang Sunda yang tiba dimuka kereta, gugur, darah seperti lautan, bangkai seperti
gunung, hancurlah orang orang Sunda, tak ada yang ketinggalan, pada tahun saka:
Sembilan Kuda Sayap Bumi, atau: 1279.
Peristiwa Sunda itu bersama sama dengan peristiwa Dompo.
Sekarang Gajah Mada menikmati masa istirahat, sebelas tahun ia menjadi Mangkubumi.
Berhubung dengan puteri Sunda itu mati, maka Batara Prabu lalu kawin dengan anak
perempuan Baginda Prameswara, yalah: Paduka Sori, dari perkawinan itu lahirlah
seorang anak perempuan, yalah Seri Ratu di Lasem Sang Ayu, dari perkawinannya
dengan isteri lain, lahirlah baginda di Wirabumi, yang diambil menjadi anak angkat Seri
Ratu di Daha.
Seri ratu di Pajang mempunyai tiga orang anak: Seri Baginda Hyang Wisesa, nama
kesatriyannya Raden Gagak Sali, namanya sebagai Raja Aji Wikrama, kawin dengan Seri
Ratu di Lasem yalah: Sang Ayu, lalu mempunyai seorang anak, yalah: Seri Baginda
Wekasing Suka, anak yang kedua perempuan, yalah: Seri Ratu di Lasem Sang Alemu,
kawin dengan baginda di Wirabumi, adapun anak yang ketiga juga perempuan, menjadi
Seri ratu di Kahuripan.
Ada lagi anak Baginda di Tumapel, nama kesatriyannya Raden Sotor, menjadi hino di
Koripan, lalu pindah menjadi hino di Daha, selanjutnya menjadi hino di Majapahit, ini
mempunyai seorang anak laki laki, yalah: Raden Sumirat, kawin dengan Seri Ratu di
Kahuripan dan menjadi raja dengan sebutan Baginda di Pandan Salas.
Lalu terjadi peristiwa upacara selamatan roh nenek moyang yang dinamakan Srada
Agung, pada tahun saka: Empat Ular Dua Tunggal, atau: 1284.
Sang Patih Gajah Mada wafat pada tahun saka: Langit Muka Mata Bulan, atau 1290, tiga
tahun lamanya tak ada yang mengganti menjadi patih.
Gajah Enggon menjadi patih pada tahun saka: Sifat Sembilan Sayap Orang, atau: 1293.
Seri Ratu di Daha wafat, dicandikan di Adilangu, nama resmi candi itu Gunung
Purwawisesa.
Seri Ratu di kahuripan wafat, dicandikan di Panggih, nama resmi candinya Gunung
Pantarapura.
Selanjutnya terjadi peristiwa gunung baru pada tahun saka: Ular Liang Telinga Orang,
atau: 1208.
Lalu terjadi peristiwa gunung meletus, pada minggu Madasia, tahun saka: Pendeta Sunyi
Sifat Tunggal, atau: 1307.
Baginda di Tumapel wafat, ia wafat di Suniyalaya pada tahun saka: Gajah Sunyi
Tindakan Ekor, atau" 1308, dicandikan di Japan, nama resmi candi itu Sarwa Jaya Purwa.
Baginda Hyang Wisesa mempunyai anak,
(1) Seri Baginda di Tumapel
(2) Perempuan, yalah: Seri Ratu Prabu-stri, yang lalu mempunyai nama nobatan: Dewi
Suhita
(3) Bungsu laki laki, yalah: Baginda di Tumapel alias Sri Kerta Rajasa Baginda di
Pandan Salas mempunyai anak
(1) Baginda di Koripan, alias Baginda Hyang Prameswara, nama nobatannya Aji Ratna
Pangkaja, kawin dengan Seri Ratu Prabu-stri, tidak berputera
(2) Perempuan, Sang ratu Ratu di Mataram, yang kawin dengan Baginda Hyang Wisesa
(3) Perempuan, Sang ratu di Lasem, yang kawin dengan Baginda di Tumapel
(4) Perempuan lagi, Sang Ratu di Matahun.
Baginda di Tumapel mempunyai anak laki laki, menjadi raja di Wengker, kawin dengan
Seri ratu di Matahun, anak kedua menjadi raja di Paguhan, anak ketiga lahir dari isteri
muda, perempuan, yalah: Seri Ratu di Jagaraga, kawin dengan Baginda Parameswara,
tidak beranak, anak kelima, yalah: Sang ratu di Pajang, juga kawin dengan Baginda di
Paguhan, jadi dibayuh sama sama saudara, tidak mempunyai anak.
Baginda di Keling kawin dengan Seri ratu di Kembang Jenar.
Anak laki laki Baginda di Wengker, yalah Baginda di Kabalan.
Baginda di Paguhan mempunyai anak dari isteri kelahiran golongan kesatriya, perempuan
yalah: Sang ratu di Singapura, kawin dengan Baginda di Pandan Salas.
Baginda Prameswara di Pamotan, wafat pada tahun saka: Langit Rupa Menggigit Bulan,
atau: 1310, ia dicandikan di Manyar, nama resmi candinya Wisnu Bawana Pura.
Seri ratu di Matahun wafat, dicandikan di Tiga Wangi, nama resmi candi itu Kusuma
Pura.
Paduka Sori wafat.
Sang ratu di Pajang wafat, dicandikan di Embul, nama resmi candi Girindra Pura.
Baginda di Paguhan wafat, dicandikan di Lobencal, nama resmi candi Parwa Tiga Pura.
Baginda Hyang Wekasing Suka, wafat pada tahun saka: Bumi Rupa Ayah Ibu, atau 1311.
XI
Baginda Hyang Wisesa dinobatkan menjadi raja.
Lalu terjadi peristiwa gunung meletus didalam minggu Prangbakat, pada tahun saka:
Muka Orang Tindakan Ular, atau : 1317.
Selanjutnya Gajah Enggon meninggal dunia pada tahun saka: Sunyi Sayap Tindakan
Orang, atau: 1320. ia menjadi patih 27 tahun lamanya.
Baginda Hyang Wekasing Suka mengangkat Gajah Manguri menjadi patih.
Baginda Hyang Wekasing Suka wafat, ia wafat di Indra Bawana, pada tahun saka: Orang
Mata Api Bulan, atau 1321, dicandikan di Tanjung, nama resmi candi Parama Suka Pura.
Baginda Hyang Wisesa menjadi pendeta pada tahun saka: Mata Sayap api Bulan, atau:
1322.
XII
Seri Ratu Batara Isteri dinobatkan menjadi Raja.
Sang ratu di Lasem wafat di Kawidyadaren, dicandikan di Pabangan, nama resmi candi:
Laksmi Pura.
Sang Ratu di Kahuripan wafat.
Sang Ratu di Lasem yalah Sang ratu Gemuk wafat.
Baginda di Pandan Salas wafat, dicandikan di Jinggan, nama resmi candi Sri Wisnu Pura.
Baginda Hyang Wisesa bercekcok dengan Baginda Wirabumi, mereka segan bersama
sama berbicara, saling diam mendiamkan, akhirnya berpisah sampai itu terjadi pada
tahun saka 1323.
Tiga tahun kemudian lalu terjadi lagi huru hara. Kedua duanya mengumpulkan orang
orangnya, Baginda di Tumapel dan baginda Hyang Prameswara diminta datang.
"Siapakah yang harus kami ikuti." maka terjadilah perang malang.
Ia masgul dan bertekad akan pergi.
Baginda "jangan tergesa gesa pergi, sayalah yang akan melawan."
Baginda Hyang Wisnu menurut dan mengumpulkan orang orangnya lagi, dihulubalangi
oleh Baginda di Tumapel. di daha diambil oleh baginda Hyang Wisesa, dibawa keatas
perahu, dikejar oleh Raden Gajah yang mempunyai nama nobatan Ratu Angabaya,
baginda Narapati.
Terkejar didalam perahu, dibunuh, dipenggal kepalanya, dibawa ke Majapahit,
dicandikan di Lung, nama resmi candinya Gorisa, pada tahun saka: Ular Sifat Menggigit
Bulan, atau: 1328, pada tahun itu terjadi huru hara ini.
Empat tahun kemudiannya Gajah Manguri meninggal dunia pada tahun saka: Sayap Sifat
Tindakan Orang, atau : 1332.
Gajah Lembaga menjadi patih, lamanya 12 tahun.
Selanjutnya terjadi peristiwa gunung meletus didalam minggu Julung Pujut, pada tahun
saka: Tindakan Kitab Suci Sifat Orang, atau: 1343.
Gajah Lembana meninggal dunia pada tahun saka: Api Api Tindakan Bumi, atau: 1335.
Tuhan Kanaka menjadi patih lamanya 3 tahun.
Seri Ratu di Daha wafat, Seri Ratu di Matahun wafat, Seri Ratu di Mataram wafat.
Selanjutnya terjadi masa kekurangan makan yang sangat lama pada tahun saka: Ular
Jaman Menggigit Orang, atau : 1348.
Baginda di Tumapel wafat pada tahun saka: Sembilan Jaman Tindakan Orang, atau:
1349, dicandikan di Lokerep, nama candinya Asmarasaba.
Baginda di Wengker wafat, dicandikan di Sumengka.
XIII
Tuhan Kanaka meninggal dunia pada tahun saka: Sayap Luka Sifat Orang, atau :
1363. Tujuh belas tahun lamanya menjadi patih.
Seri ratu di Lasem wafat di Jinggan.
Baginda di Pandan Salas wafat.
Raden Jagulu, Raden Gajah dilenyapkan, karena dianggap melakukan dosa, yalah:
memenggal kepala Baginda di Wirabumi, pada tahun saka: Unsur Memanah Telur
Tunggal, atau: 1355.
Seri Ratu di Daha menjadi raja pada tahun saka: Sembilan lima api bulan, atau 1359.
Baginda Parameswara wafat, ia wafat di Wisnu Bawana, pada tahun saka: Ular Golongan
Api Bulan, atau tahun: 1359, dicandikan di Singajaya.
Baginda Keling wafat, dicandikan di Apa Apa.
Seri Ratu Prabu-stri wafat pada tahun saka: Sembilan Rasa Api Bulan, atau: 1369,
dicandikan di Singajaya.
XIV
Lalu Baginda Tumapel mengganti menjadi raja.
Baginda di Paguhan melenyapkan orang orang di Tidung Galating, dan ini dilaporkan ke
Majapahit.
Lalu terjadi gempa bumi pada tahun saka: Sayap Golongan Menggigit Bulan, atau: 1372.
Baginda di Paguhan wafat di Canggu, dicandikan di Sabyantara.
Baginda Hyang wafat, dicandikan di Puri.
Baginda di Jagaraga wafat.
Seri Ratu di Kabalan wafat, dicandikan di Pajang Wafat, dicandikan menjadi satu di
Sabyantara.
Lalu terjadi gunung meletus didalam minggu Kuningan, pada tahun saka: Belut Pendeta
Menggigit Bulan, atau: 1373.
Baginda Prabu wafat pada tahun saka: Api Gunung Tindakan Ekor, atau: 1373, nama
resmi candinya Kerta Wijaya Pura.
XV
Baginda di Pamotan menjadi raja di Pamotan menjadi raja di Keling, Kahuripan,
nama nobatannya Sri Rajasawardana.
Sang Sinagara, dicandikan di Sepang pada tahun saka: Keinginan Kuda menggigit Orang,
atau: 1375.
XVI
Tiga tahun lamanya tidak ada raja.
XVII
Lalu Baginda di Wengker menjadi raja, nama nobatannya Baginda Hyang Purwa
Wisesa, pada tahun saka: Pendeta Tujuh Api Menggigit Bulan, atau: 1378.
Lalu terjadi peristiwa gunung meletus didalam minggu Landep, pada tahun saka: Empat
Ular Tiga Pohon, atau: 1384.
Baginda di Daha wafat pada tahun saka: Golongan Pendeta Api Tunggal, atau: 1386.
Baginda Hyang Purwa Wisesa wafat, dicandikan di Puri, pada tahun saka: Pendeta Ular
Api Bulan, atau: 1388.
Lalu Baginda di Jagaraga wafat.
XVIII
Baginda di Pandan Salas menjadi raja di Tumapel, lalu menjadi Baginda Prabu
pada tahun saka: Pendeta Ular Tindakan Tunggal, atau: 1388.
Ia menjadi Prabu dua tahun lamanya. Selanjutnya pergi dari istana.
Anak anak sang Sinaraga yalah: Baginda di Kahuripan, Baginda di Mataram, baginda di
Pamotan dan yang bungsu yalah: baginda Kertabumi, ini adalah paman baginda yang
wafat didalam kedatuan pada tahun saka: Sunyi Tidak Jaman Orang, atau: 1400.
Lalu terjadi peristiwa gunung meletus, didalam minggu Watu Gunung pada tahun saka:
Tindakan Angkasa Laut Ekor, atau: 1403.
Demikian itulah kitab tentang para datu.
Selesai ditulis di Itcasada di desa Sela Penek, pada tahun saka: Keinginginan Sifat Angin
Orang, atau: 1535.
Diselesaikan ditulis hari Pahing, Sabtu, minggu Warigadyan, tanggal dua, tengah bulan
menghitam, bulan kedua.
Semoga ini diterima baik oleh yang berkenan membaca, banyak kekurangan dan
kelebihan huruf hurufnya, sukar dinikmati, tak terkatakan berapa banyaknya memang
rusak, memang ini adalah hasil dari kebodohan yang meluap luap berhubung baru saja
belajar.
Semoga panjang umur, mudah mudahan demikian hendaknya, demikianlah, semoga
selamat bahagia ini.
Tamat..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam...!!!